Senin, 24 Desember 2012

Khotbah Jum'at

Kata “Iqra’!”, Dari Al-Quran Sampai Kompasiana (Pandangan Nahwu)

Allah SWT begitu perhatian pada jalan hidup umatnya, khusus di sini berarti Muslim, sehingga membaca Al-Quran pun dijadikan sebuah ibadah. Itu, sebuah motivasi yang sangat penuh kasih sayang dari Tuhan Semesta Alam. Tidakkah kita termotivasi untuk membaca Al-Quran? Atau malah selalu curiga pada isi kandungannya. Simpan saja dulu kecurigaan itu. Bacalah!
Saya setuju, membaca buku dengan niat menambah pengetahuan pun ibadah. Lebih jauh dari itu, membaca, mengamati, memahami, meneliti, intinya, yang bersifat upaya mengetahui suatu pengetahuan atau informasi yang baik dan untuk kebaikan, pun itu suatu ibadah. Argumen saya, berdasar dari secuil ilmu Nahwu dan Shorof yang pernah saya pelajari. Anda, bisa tidak setuju, ko!
Lihat ayat ini, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” (QS. Al-A’laq: 1). Perintah bacalah, pada ayat tersebut dalam bahasa Arabnya, “Iqra!”. Kalimat itu bentuknya, amar, atau perintah. Saya akan sedikit menarik Kalimat ‘Iqra!’ pada ilmu Nahwu. Ilmu yang membahas tata bahasa Arab.
Aturan dasar susunan kalimat dalam Nahwu, tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia. Yakni, Subjek Predikat, Objek (SPO). Yang standarnya saja, tidak menambahkan Keterangan. Dalam bahasa Nahwu susunan kalimat itu disebut, Fi’il (Predikat), Fa’il (Subjek), dan Maf’ul (Objek). Bedanya dalam letak subjek dan objek. Bahasa Indonesia, SPO, Bahasa Arab, PSO. Hanya itu, bedanya.
Di dalam Nahwu, Jika suatu kalimat yang membutuhkan keberadaan maf’ul (objek), tapi pada kenyataanya kalimat tersebut tidak memiliki objek (maf’ul). Maka, kalimat tersebut bukan tidak sempurna. Melainkan, objeknya itu jadi umum, maksudnya bisa apa saja yang berhubungan dengan makna predikatnya, fi’ilnya. Jika dalam Ayat tersebut, klimat, Iqra’! berarti yang jadi objek bacaan apa saja, Umum. Bisa Al-quran, buku, kitab, koran, Kompasiana juga boleh. Dan bacaan yang tersiratnya, mengetahui informasi alam semesta dan diri manusia, misalnya, yang berarti sifatnya penelitian, atau renungan. Renungan (taffakur), bukan melamun, apalagi angan-angan. Bukan itu!
Adakah batasan pada objek yang tak terkata itu? Ada! Tidak semua boleh dibaca. Sebab meski objeknya umum tapi ada batasannya. Hal-hal yang berlawanan dengan sifat Ketuhanan, itu tidak boleh dibaca. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” Nah, hal-hal yang berlawanan dengan sifat Ketuhanan, disini berarti kebaikan (sifat Tuhan baik) Itu tidak boleh dibaca. Hal yang cenderung menggerakan manusia pada perbuatan yang tidak baik, itu tidak boleh dibaca!
Jadi, Allah memerintahkan pada manusia untuk banyak membaca, mengkaji, memahami, meneliti, intinya, memperbanyak pengetahuan dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan. Dan jangan lupa, untuk selalu menyandingkan upaya pencarian pengetahuan itu dengan menyebut nama Tuhan, Allah SWT. Tentang makna dengan” atau dalam bahasa Arab, “Ba/ Bi” yang menempel pada kata “Tuhanmu”, saya pernah membahasnya disini.
Bagaimana dengan membaca tulisan di Kompasiana. Saya pikir, tentu saja hal itu suatu kebaikan, ibadah. Sebab banyak pengetahuan yang bisa diambil, dikaji, dan dibahas bersama, belum lagi bisa menjalin tali silaturahim sesama kompasianer, meski secara online. Selain itu, di Kompasiana pun bukan saja tempat melempar tulisan, tanpa terasa, banyak sekali yang belajar dari Kompasiana ini, dari mulai belajar menulis, sampai belajar memahami “seuatu” yang tentunya sesuai tulisan-tulisan yang ada di Kompasiana. Salah satunya, saya, yang belajar itu.
Saya yakin, jika bukan menganggap hal ini suatu kebaikan. Sudah sejak lama saya meninggalkan Kompasiana. Atau tidak balik lagi ke sini, saya mulai gabung di Kompasiana pada tahun 2009. Alhamdulillah, banyak sekali hal yang bisa “dibaca” di blog keroyokan ini. Semoga Kompasiana sukses dan selalu bermanfaat.
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat balasannya (pahala)”. (QS: Az-Zalzalah: 7)
Namun, Al-Quran sebagai pedoman pokok kehidupan umat Muslim, jangan sampai tergeser posisinya oleh bacaan apapun. Sekali lagi, oleh bacaan apapun. Al-Quran pun harus sering dibaca. Terlepas pandangan pembaca terhadap makna Ayat-ayatnya. Perintah membaca Al-Quran bukanlah perintah yang “lemah”, maksudnya, Allah sangat menitik beratkan pada perintah membaca Kitab suci ini.
Banyak manfaat yang bisa diambil selain obat penghilang duka lara hati (bukan ekonomi) dengan membaca Al-Quran. Ketenangan jiwa saat membacanya penuh dengan nada yang berirama, merasakan keindahan rangkaian Ayat-ayatnya, apalagi kalau memahami maknanya. Aura keindahan hidup akan terlihat dan serasa diberi cahaya penuntun saat kita bisa memahami setiap Ayat-ayat yang dibaca.
Saya tidak berniat menuliskanya, tadinya. Tapi sepertinya harus. Meski saya hanya sedikit mendapatkan ilmu dari pesantren tentang Bahasa Arab, tepatnya bahasa Al-Quran dan cara menterjemahkannya, tapi pengetahuan itu, Alhamdulillah, membuat saya memahami rangkaian Ayat-ayat Al-Quran itu. Sekali lagi, hanya sedikit yang saya pahami. Subhanallah, ketika saya kembali membaca Al-Quran dan berusaha menterjemahkan setiap Ayatnya berbarengan dengan gerakan bibir yang melantunkan Ayat-ayat, sangat terasa sekali nikmatnya. Saya merasa aneh. Meski bukan hal yang baru saya merasakan hal seperti itu saat membaca Al-Quran. Tapi tetap saja, aneh. Ko, rasanya tenang banget. Sampai lupa Doraemon. Hihihi…
Setiap orang mempunyai pandangan dan rasa yang berbeda, pastinya.
Jangan lupakan rangkaian Ayat-ayat Al-Quran, jenguklah ia, barangkali kesepian. Lantunankan Kalam Illahi itu dengan hati yang ikhlas, tulus dan karena Allah SWT. Allah, Tuhan Kita.


xx_ade irmansyah (DEPOK)
Sumber : http//adeirmnsyh.blogspot.com



Dzikir Yang Menentramkan Dzikir Yang Banyak

photo by: antarafoto.com


               Praktik pembersihan diri itu dalam tasawuf disebut sebagai praktek takhliyyah, yang artinya mengosongkan, membersihkan, atau mensucikan diri. Seperti halnya jika kita ingin mengisi sebuah botol dengan air mineral yang bermanfaat, pertama-tama kita harus mengosongkan isi botol itu terlebih dahulu. Sia-sia saja apabila kita memasukkan air bersih ke dalam botol, jika botol itu sendiri masih kotor. Proses pembersihan diri itu disebut takhliyyah.
Kita melakukan hal itu melalui tiga cara: al-ju’i atau lapar (upaya untuk membersihkan diri dari ketundukan kepada hawa nafsu), as-sumtu atau diam (upaya untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang tumbuh karena kejahatan lidah), dan shaum.
Setelah menempuh praktik pembersihan diri itu, para penempuh jalan tasawuf kemudian mengamalkan praktek tahliyyah. Yang termasuk pada golongan ini adalah praktek zikir dan khidmat atau pengabdian kepada sesama manusia.
Mengenai zikir yang dijadikan praktik dalam pembersihan diri, ada sebuah kisah menarik lainnya. Suatu saat, Imam Ghazali ditanya oleh seseorang, “Katanya setan dapat tersingkir oleh zikir kita, tapi mengapa saya selalu berzikir namun setan tak pernah terusir?” Imam Ghazali menjawab, “Setan itu seperti anjing. Kalau kita hardik, anjing itu akan lari menyingkir. Tapi jika di sekitar diri kita masih terdapat makanan anjing, anjing itu tetap akan datang kembali. Bahkan mungkin anjing itu bersiap-siap mengincar diri kita, dan ketika kita lengah, ia menghampiri kita.”
Al Ghazali lalu meneruskan, “Begitu pula halnya dengan zikir. Zikir tidak akan bermanfaat jika di dalam hati masih kita sediakan makanan-makanan setan. Ketika sedang memburu makanan, setan tidak akan takut untuk digebrak dengan zikir mana pun. Pada kenyataannya, bukan setan yang menggoda kita tetapi kitalah yang menggoda setan dengan berbagai penyakit hati yang kita derita. Zikir harus dimulai setelah kita membersihkan diri kita dari berbagai penyakit hati dan menutup pintu-pintu masuk setan ke dalam diri kita.”
Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Misalnya amalan puasa, kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya pada bulan Ramadan saja. Demikian pula amalan haji, kita dibatasi waktu untuk melakukannya. Menurut Imam Ghazali, hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi, yaitu zikir. Al-Quran mengatakan, “Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 41).
Dalam amalan-amalan lain selain zikir yang diutamakan adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Yang penting adalah baik tidaknya amal bukan banyak tidaknya amal itu. Kata sifat untuk amal adalah ‘amalan shaliha bukan ‘amalan katsira. Tapi khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsira bukan dzikran shaliha. Betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Karena zikir harus kita lakukan sebanyak-banyaknya, maka tidak ada batasan waktu untuk berzikir.



xx_ade irmansyah (DEPOK)
Sumber : http//adeirmnsyh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar